19 November, 2011

Kehadiran saksi dalam akad nikah (Perbandingan Mazhab Fiqh)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang  
Dalam masyarakat kita di Indonesia ini berkembang bermacam ragam aliran yang berkenaan dengan masalah fiqh. kendatipun mayoritas ummat Islam mengaku bermazhab Syafi’i, tetapi mazhab lainpun sedikit banyaknya ada pengaruhnya terhadap ummat islam di sini. Pemikiran ini didassarkan atas kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat kita sehari-hari, bahwa ada saja terlihat perbedaan pendapat yang berkenaan dengan masalah furu’ (cabang), baik mengenai ibadah, muamalah, dan lain-lain.[1]
Salah satu syarat sah nikah adalah saksi. Sehubungan dengan persaksian dalam akad nikah ada beberapa hal yang akan dibahas, yaitu hukum menyaksikan akad nikah, syarat-syarat saksi, dan waktu penyaksian.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana kehadiran saksi dalam akad nikah?
2.      Apa saja syarat-syarat yang menjadi Saksi dalam akad nikah?


BAB II
PEMBAHASAN

KEHADIRAN SAKSI DALAM AKAD NIKAH

A.    Saksi Dalam Akad Nikah
Para Imam mazhab sepakat bahwa kesaksian merupakan syarat dalam pernikahan.
1.      Hukum Menyaksikan Akad Nikah
Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Demikian pendapat para jumhur ulama. Jadi, saksi menjadi syarat sah akad nikah.
Berbeda dengan Imam Malik, kehadiran saksi dalam akad nikah tidaklah wajib, tetapi cukuplah dengan pemberitahuan (diumumkan) kepada orang banyak. Namun pemberitahuan itu sebelum mereka bercampur. Apabila kedua suami istri itu telah bercampur sebelum disaksikan (diketahui) oleh orang lain, maka keduanya harus dipisahkan (fasakh).
Menurut pendapat yang mu’tamad di kalangan Malikiyah (bukan Imam Maliki), saksi menjadi syarat sah suatu perkawinan.
Adapun yang menjadi dasar adalah hadis Aisyah, Nabi berkata:
لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ.
 “Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil”. (HR. Dara Quthny dan Ibnu Hibban).
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo.
Mengenai saksi dalam akad nikah, Abu Hanifah mempunyai pandangan, bahwa akad nikah dianggap sah, walaupun dihadiri oleh dua orang saksi yang fasik, sebab tujuan dari saksi itu dihadirkan untuk memberitahukan pernikahan itu telah dilangsungkan. Sedangkan Imam Syafii berpendapat, saksi itu harus orang yang adil, tidak boleh fasik.
Description: C:\Users\AUFAMAUDY\Pictures\MP Navigator EX\2010_07_14\IMG.jpgSyafiiyah dan Hanabilah mensyariatkan laki-laki yang menjadi saksi. Sebagaimana sabda Nabi saw.:




Artinya    :    “Wanita tidak boleh menjadi saksi dalam masalah hudud (had), nikah dan talak” (HR. Abu ‘Ubaid).
Golongan Hanafiyah tidak mensyariatkan laki-laki menjadi saksi. Mereka berpendapat, saksi boleh dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua wanita, sebagaimana fiman Allah al-baqarah ayat 282:
(#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$#
Artinya    :    “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (Al-Baqarah: 282)
Berkenaan dengan masalah ini Ibnu Abi Laila, Abu Tsaur dan Abu Bakar al-‘Asham mengatakan, saksi tidak disyariatkan pada pernikahan, karena ayat-ayat yang berhubungan dengan pernikahan, tidak menyebutkan saksi sebagaimana ayat jual beli, utang piutang.
Allah berfirman: an-Nisa:3 dan an-Nur: 32
(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$#
Artinya    :    “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”

Firman Allah :
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur

Artinya    :    “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. (QS. An-Nur 32)

Dalam kedua ayat tersebut tidak disinggung mengenai saksi dalam pernikahan. Mereka memandang bahwa saksi tidak menjadi syarat sah nikah, namun memberitahukan pernikahan itu seperti resepsi dan acara lainnya hukumnya sunah.[2]
2.      Syarat-Syarat Saksi
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi syarat.
                      a.   Berakal
   Orang gila tidak dapat dijadikan saksi.
                     b.   Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumaiyyis (menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima dan menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi harus mukallaf.
                      c.   Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan calon pengantin laki-laki.
                     d.   Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.[3]
                      e.   Bilangan Jumlah Saksi
Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang termasyur: kesaksian seorang wanita saja dapat diterima.
Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita dapat diterima.
Syafii: tidak diterima kesaksian perempuan, kecuali empat orang.[4]
                      f.    Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian pendapat para jumhur ulama. Selain hanafiyah.
                     g.   Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama. Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
                     h.   Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat. Sedangkan jumhur ulama, dapat menerima kesaksian orang yang buta asal dia dapat mendengar dengan baik iajd qabul itu dan dapat membedakan suaa wali dan calon pengantin laki-laki.[5]
3.      Waktu Menyaksikan Akad Nikah
Jumhur ulama selain Malikiyah berpendapat, bahwa kesaksian itu diperlukan saat akad nikah, agar saksi itu mendengar saat ijab qabul. Lebih lanjut Hanafiyah mengatakan, karena saksi termasuk rukun nikah, maka disyariatkan keberadaannya pada saat akad nikah. Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwa saksi memang menjadi syarat sah nikah, tetapi kehadirannya boleh saat akad nikah dan boleh juga disaksikan pada waktu lain seperti resepsi, asal sebelum bercampur kedua mempelai.[6]


BAB III
KESIMPULAN

Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu.
Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Saksi menjadi syarat sah akad nikah. Berbeda dengan Imam Malik, kehadiran saksi dalam akad nikah tidaklah wajib, tetapi cukuplah dengan pemberitahuan (diumumkan) kepada orang banyak. Menurut pendapat yang mu’tamad, saksi menjadi syarat sah suatu perkawinan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat hendaklah dipandang hal yang wajar saja dan hal itu menandakan bahwa pikiran orang itu hidup tidak membeku, kreatif dan tidak mandek berjalan ditempat.


DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali, perbandingan mazhab fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, cet 2
Mughniyah, Muhammad Jawat, fiqih lima mazhab:ja’far,Hanafi, Malik Syafii,Hambali, Jakarta: Penerbit Lentera, 2008, cet 7
Ad-Dimasyqi, Syaikh al-‘Allamah muhammad bin ‘Abdurrahman, Rahmah al-Ummah Fi Ikhtilaf  al-A’immah, Bandung: Hasyimi Pres, cet 2




[1]M. Ali Hasan, perbandingan mazhab fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, cet 2, hlm.7
       [2]M. Ali Hasan, perbandingan mazhab fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, cet 2, hlm 145-149.
        [3]Ibid, hlm 149-151
       [4]Syaikh al-‘Allamah muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah Fi Ikhtilaf  al-A’immah, Bandung: Hasyimi Pres, cet 2, hlm 528.
       [5]M. Ali Hasan, perbandingan…hlm, 152
       [6]Ibid, hlm 152-153



Artikel Terkait:

2 komentar:

  1. syarat saksi kan adil,, maksud adil disitu adil apa ea...???

    BalasHapus
  2. Adil dlm menempatkan, memberikan haknya kpd yg berhak.

    BalasHapus