04 November, 2011

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistem pembelajaran


FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH
TERHADAP SISTEM PEMBELAJARAN

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan proses sistem pembelajaran di antaranya faktor guru, faktor siswa, sarana, alat dan media yang tersedia, serta faktor lingkungan.
1.      Faktor Guru
Guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran. Tanpa guru, bagaimanapun bagus dan idealnya suatu strategi, maka strategi itu tidak mungkin dapat diaplikasikan. Layaknya seorang prajurit di medan pertempuran. Keberhasilan penerapan strategi berperang untuk menghancurkan musuh akan sangat bergantung kepada kualitas prajurit itu sendiri. Demikian juga dengan guru. Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran akan ter­gantung pada kepiawaian guru dalam menggunakan metode, teknik, dan taktik pembelajaran. Diyakini, setiap guru akan memiliki pengalaman, pengetahuan, kemampuan, gaya, dan bahkan pandangan yang berbeda dalam mengajar. Guru yang menganggap mengajar hanya sebatas me­nyampaikan materi pelajaran, akan berbeda dengan guru yang mengang­gap mengajar adalah suatu proses pemberian bantuan kepada peserta didik. Masing-masing perbedaan tersebut dapat memengaruhi baik dalam penyusunan strategi atau implementasi pembelajaran.
Guru, dalam proses pembelajaran memegang peran yang sangat pen­ting. Peran guru, apalagi untuk siswa pada usia pendidikan dasar, tidak mungkin dapat digantikan oleh perangkat lain, seperti televisi, radio, kom­puter, dan lain sebagainya. Sebab, siswa adalah organisme yang sedang berkembang yang memerlukan bimbingan dan bantuan orang dewasa.
Dalam proses pembelajaran guru bukanlah hanya berperan sebagai model atau teladan bagi siswa yang diajarnya, akan tetapi juga sebagai pengelola pembelajaran (manager of learning). Dengan demikian, efektivitas proses pembelajaran terletak di pundak guru. Oleh karenanya, keber­hasilan suatu proses pembelajaran sangat ditentukan oleh kualitas atau kemampuan guru. Norman Kirby (1981) menyatakan: "One underlying emphasis should be noticeable: that the quality of the teacher is the essential, constant feature in the success of any educational system".
Menurut Dunkin (1974), ada sejumlah aspek yang dapat memenga­ruhi kualitas proses pembelajaran dilihat dari faktor guru, yaitu: "teacher formative experience, teacher training experience and teacher properties".
Teacher formative experience, meliputi jenis kelamin serta semua penga­laman hidup guru yang menjadi latar belakang sosial mereka. Yang terma­suk ke dalam aspek ini di antaranya, meliputi tempat asal kelahiran guru termasuk suku, latar belakang budaya dan adat istiadat, keadaan keluarga dari mama guru itu berasal, misalkan apakah guru itu berasal dari keluarga yang tergolong mampu atau tidak; apakah mereka berasal dari keluarga harmonis atau bukan.
Teacher training experience, meliputi pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan aktivitas dan latar belakang pendidikan guru, mi­salnya, pengalaman latihan profesional, tingkatan pendidikan, penga­laman jabatan, dan lain sebagainya.
Teacher properties, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang dimiliki guru, misalnya sikap guru terhadap profesinya, sikap guru terhadap siswa, kemampuan atau inteligensi guru, motivasi dan kemampuan mereka baik kemampuan dalam pengelolaan pembelajaran termasuk di dalamnya kemampuan dalam merencanakan dan evaluasi pembelajaran maupun kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran.
Selain latar guru seperti di atas, pandangan guru terhadap mata pelajaran yang diajarkan juga dapat pula memengaruhi proses pembe­lajaran. Guru yang menganggap mata pelajaran IPS sebagai mata pela­jaran hafalan, misalnya akan berbeda dalam pengelolaan pembelajarannya dibandingkan dengan guru yang menganggap mata pelajaran tersebut sebagai mata pelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir; demikian juga dengan pelajaran matematika, banyak guru yang meng­anggap sebagai mata pelajaran yang sulit untuk dipelajari. Pandangan yang demikian dapat memengaruhi cara penyajian mata pelajaran ter­sebut di dalam kelas
2.      Faktor Siswa
Siswa adalah organisme yang unik yang berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiannya, akan tetapi tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Proses pem­belajaran dapat dipengaruhi oleh perkembangan anak yang tidak sama itu, di samping karakteristik lain yang melekat pada diri anak.
Seperti halnya guru, faktor-faktor yang dapat memengaruhi proses pembelajaran dilihat dari aspek siswa meliputi aspek latar belakang siswa yang menurut Dunkin disebut pupil formative experiences serta faktor sifat yang dimiliki siswa (pupil properties)
Aspek latar belakang, meliputi jenis kelamin in siswa, tempat kelahiran dan tempat tinggal siswa, tingkat social ekonomi siswa, dari keluarga yang bagaimana siswa berasal dan lain sebagainya; sedangkan dilihat dari sifat yang dimiliki siswa meliputi kemampuan dasar, pengetahuan dan sikap. Tidak dapat disangkal bahwa setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda yang dapat dikelompokkan pada siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Siswa yang termasuk berkemampuan tinggi biasanya ditunjukkan oleh motivasi yang tinggi dalam belajar, perhatian dan kese­riusan dalam mengikuti pelajaran, dan lain sebagainya. Sebaliknya siswa yang tergolong pada kemampuan rendah ditandai dengan kurangnya moti­vasi belajar, tidak adanya keseriusan dalam mengikuti pelajaran termasuk menyelesaikan tugas, dan lain sebagainya. Perbedaan-perbedaan semacam itu menuntut perlakuan yang berbeda pula baik dalam penempatan atau pengelompokan siswa maupun dalam perlakuan guru dalam menyesuaikan gaya belajar. Demikian juga halnya dengan tingkat-pengetahuan siswa. Siswa yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang penggunaan bahasa standar, misalnya Akan memengaruhi proses pembelajaran mereka dibandingkan dengan siswa yang tidak memiliki tentang hal itu.
Sikap dan penampilan siswa di dalam kelas, juga merupakan aspek lain yang dapat memengaruhi proses pembelajaran. Adakalanya ditemu­kan siswa yang sangat aktif (hyperkinetic) dan ads pula siswa yang pen­diam, tidak sedikit juga ditemukan siswa yang memiliki motivasi yang rendah dalam belajar. Semua itu Akan memengaruhi proses pembelajaran di dalam kelas. Sebab, bagaimanapun faktor siswa dan guru merupakan faktor yang sangat menentukan dalam interaksi pembelajaran.
3.      Faktor Sarana dan Prasarana
Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung ter­hadap kelancaran proses pembelajaran, misalnya media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perlengkapan sekolah, dan lain sebagainya; sedangkan pra­sarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran, misalnya, jalan menuju sekolah, pene­rangan sekolah, kamar kecil, dan lain sebagainya. Kelengkapan sarana dan prasarana Akan membantu guru dalam penyelenggaraan proses pembe­lajaran; dengan demikian sarana dan prasarana merupakan komponen penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.
Terdapat beberapa keuntungan bagi sekolah yang memiliki kelengkapan sarana dam prasarana. Pertama, kelengkapan sarana dan prasarana dapat menumbuhkan gairah dan motivasi guru mengajar. Mengajar dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu sebagai proses penyampaian materi pela­jaran dan sebagai proses pengaturan lingkungan yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Apabila mengajar dipandang sebagai proses penyam­paian materi, maka dibutuhkan sarana pembelajaran berupa alat dan bahan yang dapat menyalurkan pecan secara efektif dan efisien; sedangkan mana­kala mengajar dipandang sebagai proses mengatur lingkungan agar siswa dapat belajar, maka dibutuhkan sarana yang berkaitan dengan berbagai sumber belajar yang dapat mendorong siswa untuk belajar. Dengan demi­kian, ketersediaaan sarana yang lengkap, memungkinkan guru memiliki berbagai pilihan yang dapat digunakan untuk melaksanakan fungsi meng­ajarnya; dengan demikian ketersediaan ini dapat meningkatkan gairah mengajar mereka. Kedua, kelengkapan sarana dan prasarana dapat mem­berikan berbagai pilihan pada siswa untuk belajar. Setiap siswa pada dasar­nya memiliki gaya belajar yang berbeda. Siswa yang bertipe auditif akan lebih mudah belajar melalui pendengaran; sedangkan tipe siswa yang visual akan lebih mudah belajar melalui penglihatan. Kelengakapan sarana dan prasarana akan memudahkan siswa menentukan pilihan dalam belajar.
4.      Faktor Lingkungan
Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat memenga­ruhi proses pembelajaran, yaitu faktor organisasi kelas dan faktor iklim sosial-psikologis.
Faktor organisasi kelas yang di dalamnya meliputi jumlah siswa dalam satu kelas merupakan aspek penting yang dapat memengaruhi proses pembelajaran. Organisasi kelas yang terlalu besar akan kurang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kelompok belajar yang besar dalam satu kelas berkecenderungan:
a.       Sumber daya kelompok akan bertambah luas sesuai dengan jumlah siswa sehingga waktu yang tersedia akan semakin sempit.
b.      Kelompok belajar akan kurang  mampu memanfaatkan dan menggunakan semua sumber daya yang ada. Misalnya, dalam penggunaan waktu diskusi; jumlah siswa yang terlalu banyak akan memakan waktu yang banyak pula, sehingga sumbangan pikiran akan sulit didapatkan dari setiap siswa.
c.       Kepuasan belajar setiap siswa akan cenderung menurun. Hal ini disebabkan kelompok belajar yang terlalu banyak akan mendapatkan pelayanan yang terbatas dari setiap guru, dengan kata lain perhatian guru akan semakin terpecah.
d.      Perbedaan individu antara anggota akan semakin tampak, sehingga akan semakin sukar mencapai kesepakatan. Kelompok yang terlalu besar cenderung akan terpecah ke dalam sub-sub kelompok yang saling bertentangan.
e.       Anggota kelompok yang terlalu banyak berkecenderungan akan se­makin banyak siswa yang terpaksa menunggu untuk sama-sama maju mempelajari materi pelajaran baru.
f.       Anggota kelompok yang terlalu banyak akan cenderung semakin banyaknya siswa yang enggan berpartisipasi aktif dalam setiap ke­giatan kelompok.
Memperhatikan beberapa kecenderungan di atas, maka jumlah ang­gota kelompok besar akan kurang menguntungkan dalam menciptakan iklim belajar mengajar yang baik.
Faktor lain dari dimensi lingkungan yang dapat memengaruhi proses pembelajaran adalah faktor iklim sosial-psikologis, maksudnya adalah keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses pem­belajaran. Iklim sosial ini dapat terjadi secara internal atau eksternal.
Iklim sosial-psikologis secara internal, adalah hubungan antara orang yang terlibat dalam lingkungan sekolah, misalnya iklim sosial antara siswa dengan siswa; antara siswa dengan guru; antara guru dengan guru bahkan antara guru dengan pimpinan sekolah. Iklim sosial-psikologis eksternal adalah keharmonisan hubungan antara pihak sekolah dengan dunia luar, misalnya hubungan sekolah dengan orang tua siswa, hubung­an sekolah dengan lembaga-lembaga masyarakat, dan lain sebagainya.
Sekolah yang memiliki hubungan yang baik secara internal, yang ditunjukkan oleh kerja sama antar guru, saling menghargai dan saling membantu, maka memungkinkan iklim belajar menjadi sejuk dan tenang sehingga akan berdampak pada motivasi belajar siswa. Sebaliknya, mana­kala hubungan tidak harmonis, iklim belajar akan penuh dengan kete­gangan dan ketidaknyamanan sehingga akan memengaruhi psikologis siswa dalam belajar. Demikian juga sekolah yang memiliki hubungan yang baik dengan lembaga-lembaga luar akan menambah kelancaran program-program sekolah sehingga upaya-upaya sekolah dalam meningkatkan kualitas pembelajaran akan mendapat dukungan dari pihak lain.
MASALAH SISWA

Pengelompokan siswa tersebut terkadang malah menimbulkan masalah baru bagi guru. Untuk membantu guru menghadapi masalah tersebut, Pollard dalam Hilda Karli (2004:26) menge­lompokkan kepribadian siswa dalam 5 kelompok besar, yaitu:
a.       Impulsivity /Reflexivity. Gambaran impulsivity adalah orang yang tergesa-gesa dalam mengerjakan tugas tanpa berpikir lebih dahulu, sedangkan reflexivity adalah orang yang sangat mempertimbangkan tugas tersebut tanpa berkesudahan.
b.      Extroversion. Gambaran extroversion adalah orang yang ramah, terbuka, bahkan kadang-kadang tergantung dari per­lakuan teman-teman sekelompoknya. Sedangkan introversion adalah orang yang tertutup dan sangat pribadi, malah kadang-kadang tidak mau bergaul dengan teman-temannya.
c.       Anxiety /Adjustment. Gambaran anxiety adalah orang yang merasa kurang dapat bergaul dengan teman, guru atau tidak dapat menyelesaikan permasalahan dengan baik, sedangkan adjustment adalah orang yang merasa dapat bergaul dengan guru, teman atau dapat menyelesaikan masalah dengan baik.
d.      Vacillation /Perseverance. Gambaran vacillation orang yang konsentrasinya rendah sering berubah-ubah, dan cepat menyerah dalam pekerjaan, sedangkan perseverance adalah orang yang mempunyai daya konsentrasi kuat dan terfokus serta pantang menyerah dalam menyelesaikan pekerjaan.
e.       Competitiveness/ Collaborativeness; Gambaran mengenai competitiveness adalah orang yang mengukur prestasinya dengan orang lain dan sukar bekerjasama dengan orang lain, sedangkan collaborativeness adalah orang yang sangat ter­gantung pads orang lain dan tidak dapat bekerja sendiri.
Sedangkan M. Entang dan T. Raka Joni (1983:12) mengelom­pokkan masalah pengelolaan siswa menjadi dua kategori, yaitu masalah individual dan masalah kelompok. Tindakan penge­lolaan siswa yang dilakukan guru akan efektif apabila ia dapat mengidentifikasi dengan tepat hakikat masalah yang sedang dihadapi, sehingga pada gilirannya ia dapat memilih strategi penanggulangan yang tepat pula.
Masalah individu muncul karena dalam individu ada kebutuhan ingin diterima kelompok dan ingin mencapai harga diri. Apabila kebutuhan-kebutuhan itu tidak dapat lagi dipenuhi melalui cara-cara yang lumrah yang dapat diterima masyarakat, maka individu yang bersangkutan akan berusaha mencapainya dengan cara lain. Dengan perkataan lain individu akan berbuat tidak baik. Perbuatan-perbuatan untuk mencapai tujuan dengan cara yang tidak baik itu oleh Rudolf Dreikurs dan Pearl Cassel yang dikutif oleh T. Raka Joni digolongkan menjadi empat, yaitu:
1.    Tingkah laku yang ingin mendapat perhatian orang lain (attention getting behaviors). Misalnya membadut di kelas atau berbuat lamban sehingga perlu mendapat pertolongan ekstra.
2.    Tingkah laku yang ingin menunjukkan kekuatan (power seeking behaviors), misalnya selalu mendebat, kehilangan kendali emosional (marah-marah, menangis) atau selalu lupa pada aturan-aturan penting di kelas.
3.    Tingkah laku yang bertujuan menyakiti orang lain (revenge seeking behaviors). Misalnya menyakiti orang lain dengan mengata-ngatai, memukul, menggigit dan sebagainya. Peragaan ketidakmampuan (passive behaviors), yaitu sama sekali menolak untuk mencoba melakukan apapun karena khawatir mengalami kegagalan.
Menurut Maman Rahman, (1998:58) dari keempat tindakan individu di atas sebagaimana dikemukakan oleh Rodolf Dreikurs akan mengakibatkan terbentuknya empat pola tingkah laku yang sering nampak pada anak usia sekolah yaitu:
1.         Pola aktif konstruktif yaitu pola tingkah laku yang ekstrim, ambisius untuk menjadi super star di kelasnya dan berusaha membantu guru dengan penuh vitalitas dan sepenuh hati.
2.         Pola aktif destruktif yaitu pola tingkah laku yang diwujud­kan dalam bentuk membuat banyolan, suka marsh, kasar dan memberontak.
3.         Pola pasif konstruktif yaitu pola yang menunjukkan kepada satu bentuk tingkah laku yang lamban dengan maksud su­paya selalu dibantu dan mengharapkan perhatian.
4.         Pola pasif detruktif yaitu pola tingkah laku yang menunjuk kemalasan (sifat malas) dan keras kepala.
Dua kategori pokok tentang masalah pengelolaan siswa, yaitu masalah individual dan masalah kelompok. Pengklasifi­kasian ini agak banyak menanggung risiko, sebab masalah individual dan masalah kelompok, seperti juga masalah penge­lolaan pengajaran dan pengelolaan kelas, sering berkaitan. Walaupun demikian, pengklasifikasian ini sangat berguna.
a.       Masalah individu
Kategori masalah individu dalam pengelolaan siswa menurut Dreikurs dan Cassel didasarkan pada asumsi bahwa tingkah laku manusia itu mempunyai maksud dan tujuan. Setiap individu mempunyai kebutuhan pokok untuk menjadi dan merasa berguna. Jika individu ini merasa putus asa dalam mengembangkan rasa memiliki harga diri melalui nilai yang dapat diterima secara sosial, ia akan berkelakuan buruk.
Ada 4 tipe perilaku yang kurang baik, yaitu (1) perilaku untuk menarik perhatian, (2) perilaku untuk mencari kekuasa­an, (3) perilaku untuk melampiaskan dendam, dan (4) perilaku yang memperlihatkan ketidakmampuan.
Murid-murid yang tidak menaikkan statusnya dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungannya, biasanya akan mencari jalan lain, baik melalui tindakan untuk menarik, perhatian yang aktif maupun yang pasif. Bentuk mencari perhatian yang aktif bersifat merusak, misalnya bergaya sok, melawak, mengacau, menjadi anak nakal, anak yang terus-menerus bertanya atau rewel. Bentuk pasif dalam mencari perhatian yang bersifat merusak misalnya, pemaksaan atau ingin mendapatkan per­hatian orang lain dengan meminta tolong terus.
Perilaku untuk mencari kekuasaan hampir sama dengan kasus tindakan di atas, namun sifatnya lebih kuat yakni men­cari perhatian yang sifatnya merusak. Pencari kekuasaan yang, aktif biasanya suka membantah, berbohong, pemukul, mem­punyai watak pemarah, menolak perintah, dan benar-benar tidak mau tunduk. Pencari kekuasaan yang pasif adalah orang yang kemalasannya sangat nyata, yang biasanya tidak mau bekerja sama sekali. Murid seperti ini sangat pelupa, keras kepala, dan tidak mau patuh.
Murid yang mencari pelampiasan dendam disebabkan putus asa dan bingung sehingga mencari keberhasilan dengan cara, menyakiti orang lain, menyerang secara fisik (mencakar, memukul, menendang) bermusuhan dengan teman-temannya, memaksa dengan kekuasaan. Mereka adalah anak yang tidak mempunyai rasa sakit dan kurang sportif. Biasanya anak tersebut pelampiasannya lebih banyak secara aktif daripada secara pasif. Keaktifan mereka digambarkan sebagai anak yang kejam dan penuh kebencian, sedangkan mereka yang pasif digambarkan sebagai orang yang cemberut dan menantang.
Murid yang berkelakuan buruk merupakan pribadi yang sangat putus asa, pesimis dalam mencapai keberhasilan, dan hanya mengalami kegagalan yang terus-menerus. Perasaan tidak berharga dan tidak berdaya menyertai kelakuan murid yang dikucilkan dan "drop-out", yang menyamakan partisipasi dengan kegagalan lebih lanjut. Peragaan ketidakmampuan ini selalu mempunyai bentuk pasif.
Untuk membedakan keempat tipe di atas, dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap gejala yang muncul. Dreikurs dan Cassel mengajukan satu teknik yang cukup sederhana untuk mendeteksi gejala tersebut, dengan parameter sebagai berikut.
a)      Jika guru merasa terganggu oleh tindakan murid, mungkin tujuan murid adalah untuk mencari perhatian.
b)      Jika guru merasa dikalahkan atau terancam, tujuan murid tersebut mungkin untuk mencari kekuasaan.
c)      Jika guru merasa sangat tersinggung, tujuannya mungkin untuk mencari pelampiasan dendam.
d)      Jika guru merasa tidak berdaya, tujuan anak mungkin untuk menunjukkan ketidakmampuannya.
Lebih lanjut Dreikurs dan Cassel menegaskan bahwa guru harus dengan tepat mengidentifikasi dan memahami tujuan tindakan anak sehingga secara efektif dapat dilakukan pe­nanganannya.

b.      Masalah kelompok
Johnson dan Bany mengidentifikasi tujuh masalah kelompok dalam pengelolaan kelas, yaitu (1) kurangnya kesatuan, (2) ketidaktaatan terhadap standar tindakan dan prosedur kerja, (3) reaksi negatif terhadap pribadi anggota, (4) pengakuan kelas terhadap kelakuan guru, (5) kecenderungan adanya gangguan, kemacetan pekerjaan, dan kelakuan yang dibuat-buat, (6) ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, dan (7) semangat juang yang rendah dan adanya sikap bermusuhan.
Kurangnya kesatuan, ditandai dengan konflik-konflik antara individu dan sub kelompok. Misalnya, konflik antara jenis kelamin dan atau ras dengan murid dari jenis kelamin atau ras yang lain. Suasana kelas seperti ini ditandai dengan konflik, permusuhan, ketegangan. Murid merasa tidak puss dengan kelompok dan berpendapat kelompok tidak menarik. Akhirnya murid tidak saling mendukung.
Bilamana kelas menganut kebiasaan yang kurang baik, norma-norma buruk sudah diterapkan, maka kebiasaan itu dikategorikan sebagai tindakan terhadap standar tingkah laku. Misalnya: keributan, kegaduhan, berbicara keras, bertingkah laku yang mengganggu saat mereka diharapkan bekerja dalam suasana tenang di tempat duduk masing-masing, saling men­dorong di jalan atau di kantin sekolah.
Reaksi negatif terhadap pribadi anggota kelas ditandai dengan kesan bermusuhan terhadap anak-anak yang tidak di­terima oleh kelompok, yang menyimpang dari aturan kelompok, atau yang menghalangi usaha kelompok. Kekhasan masalah ini adalah adanya tindakan kelompok untuk membuat individu tersebut menyesuaikan diri dengan kelompok.
Persetujuan kelas terhadap tindakan jelek timbul ketika kelompok mendorong dan mendukung seseorang yang ber kelakuan yang tidak dapat diterima kelompok kelas. Contoh yang paling umum bilamana kelompok kelas mendukung terhadap "pelawak kelas". Jika kasus ini terjadi, kita dapat mengelompokkan kasus tadi menjadi masalah kelompok sekaligus merupakan masalah individu. Padahal, masalah kelompok merupakan masalah paling serius yang harus segera ditangani.
Masalah yang timbul pada saat kelompok menyelesaikan tugas cenderung kelompok memacetkan kegiatan. Kelompok terlalu bereaksi terhadap gangguan-gangguan kecil dan membiarkan masalah-masalah kecil yang mengganggu produktivitas Kelompok yang menolak mengerjakan tugas merupakan contoh yang khas. Situasi ini ditandai oleh adanya ketidakpastian dan kecemasan.
Jika kelas terlibat dalam tindak proses dan perlawanan tersembunyi atau terang-terangan yang mengakibatkan kelambatan dan kemacetan kegiatan, ini merupakan masalah kelompok yang paling sulit diatasi. Kesan-kesan perlawanan umumnya sangat kabur. Permintaan yang berulang-ulang mengenai kejelasan tugas, pensil yang hilang, lupa mengerjakan pekerjaan rumah, keluhan-keluhan kecil merupakan contoh masalah kelompok yang khas. Tetapi tindakan seperti permusuhan, dan perbuatan-perbuatan yang agresif merupakan ha] yang kurang umum.
Kelompok kelas yang memberi reaksi buruk pada saat ada peraturan baru, situasi darurat, perubahan anggota kelompok, perubahan jadwal, atau pergantian guru, merupakan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Pada umumnya, kelompok-kelompok seperti ini bereaksi menekan; mereka memandang perubahan sebagai ancaman terhadap persatuan kelompok. Contoh yang sangat umum adalah satu kelas yang biasanya berkelakuan baik, tetapi berkelakuan sangat buruk terhadap guru pengganti.


Artikel Terkait:

3 komentar: